Definition List

Friday, 19 February 2021

Imagery & Remote Sensing using ArcGis

Imagery & Remote Sensing

Landsat 8 has been online for a couple of months now, and the images look incredible. While all of the bands from previous Landsat missions are still incorporated, there are a couple of new ones, such as the coastal blue band water penetration/aerosol detection and the cirrus cloud band for cloud masking and other applications. Here’s a rundown of some common band combinations applied to Landsat 8, displayed as a red, green, blue (RGB):

Tabel Band



Sample map


Here’s how the new bands from Landsat 8 line up with Landsat 7:

Tabel



For the most part, the bands line up with what we’re used to, with some minor tweaking of the spectral ranges. The thermal infrared band from Landsat 7 is now split into two bands for Landsat 8. Whereas before you had one thermal band that was acquired at 60 m resolution (and resampled to 30 m) now you have increased spectral resolution at the cost of spatial resolution. It wouldn’t be remote sensing without tradeoffs, right?

Sunday, 27 December 2020

Panthera Tigris Sondaica Menolak Untuk Punah

Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) adalah subspesies harimau yang hidup terbatas (endemik) di Pulau Jawa,  Harimau ini telah dinyatakan punah di sekitar tahun 1980-an, akibat perburuan dan perkembangan lahan pertanian yang mengurangi habitat binatang ini secara drastis.


Pengenalan
Dibandingkan dengan jenis-jenis harimau di Benua Asia, harimau jawa terhitung bertubuh kecil. Namun harimau ini mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar daripada harimau bali dan kurang lebih sama besar dengan harimau sumatera. Harimau jawa jantan mempunyai berat 100-140 kg, sementara yang betina berbobot lebih ringan, antara 75–115 kg. Panjang kepala dan tubuh hewan jantan sekitar 200-245 cm; hewan betina sedikit lebih kecil.


Kepunahan
Pada awal abad ke-19, harimau ini masih banyak berkeliaran di Pulau Jawa. Pada tahun 1940-an, harimau jawa hanya ditemukan di hutan-hutan terpencil. Ada usaha-usaha untuk menyelamatkan harimau ini dengan membuka beberapa taman nasional. Namun, ukuran taman ini terlalu kecil dan mangsa harimau terlalu sedikit. Pada tahun 1950-an, ketika populasi harimau jawa hanya tinggal 25 ekor, kira-kira 13 ekor berada di Taman Nasional Ujung Kulon. Sepuluh tahun kemudian angka ini kian menyusut. Pada tahun 1972, hanya ada sekitar 7 harimau yang tinggal di Taman Nasional Meru Betiri.



Ada kemungkinan kepunahan ini terjadi di sekitar tahun 1950-an ketika diperkirakan hanya tinggal 25 ekor jenis harimau ini. Terakhir kali ada sinyalemen dari harimau jawa ialah pada tahun 1972. Pada tahun 1979, ada tanda-tanda bahwa tinggal 3 ekor harimau hidup di Pulau Jawa. Kemungkinan kecil binatang ini belum punah. Pada tahun 1990-an ada beberapa laporan tentang keberadaan hewan ini, walaupun hal ini tidak bisa diverifikasi.


Meskipun demikian banyak laporan penampakan harimau jawa di hutan Jateng dan Jatim.

Pada akhir tahun 1998 telah diadakan Seminar Nasional harimau jawa di UC UGM yang berhasil menyepakati untuk dilakukan "peninjauan kembali" atas klaim punahnya satwa ini. Hal tersebut karena bukti-bukti temuan terbaru berupa jejak, guratan di pohon, dan rambut, yang diindikasikan sebagai milik harimau jawa. Secara mikroskopis, struktur morfologi rambut harimau jawa dapat dibedakan dengan rambut macan tutul. Oleh karena itu hingga sekarang masih dilakukan usaha pembuktian eksistensi satwa penyandang status punah ini.


Di samping harimau jawa, ada dua jenis harimau yang punah pada abad ke-20, yaitu harimau bali dan harimau kaspia.

Catatan taksonomis dan etimologis
Secara tradisional, harimau jawa ditempatkan sebagai salah satu dari sembilan anak jenis Panthera tigris, yakni P.t. sondaica. Akan tetapi kajian baru-baru ini terhadap beberapa ciri pada tengkorak harimau jawa, dibandingkan dengan beberapa kerabat terdekatnya, menyimpulkan bahwa ia merupakan spesies yang tersendiri; dengan nama ilmiah Panthera sondaica. Di samping itu, kajian juga berpendapat bahwa harimau sumatera pun merupakan spesies penuh, P. sumatrae; sementara harimau bali adalah anak jenis harimau jawa dengan nama trinomial P. sondaica balica.


Epitet spesifik sondaica merujuk pada pulau-pulau Sunda Besar, yaitu Sumatra, Jawa, dan Bali di mana ditemukan harimau. Ketika nama itu ditelurkan (1844), belum diketahui bahwa taksa dari Sumatra dan Bali berbeda dengan yang dari Jawa.

Pada tahun 2017, Satuan Tugas Klasifikasi Kucing dari Cat Specialist Group merevisi taksonomi kucing sehingga populasi harimau yang hidup dan punah di Indonesia (harimau sumatera, jawa, dan bali) digolongkan sebagai Pantera tigris sondaica



Penelitian terakhir
Sensus terakhir tentang keberadaan harimau jawa dilakukan selama 1 tahun, yaitu sejak tahun 1999-2000. Survei selama 12 bulan ini berlangsung di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, atas permintaan langsung kepala taman nasional, Indra Arinal, dan didukung oleh Direktur Konservasi Flora dan Fauna, Ir. Koes Saparjadi, karena adanya laporan dari beberapa orang staf taman nasional serta warga setempat yang menduga bahwa harimau jawa masih ada.

Sebanyak 12 staf taman nasional dilatih dengan dibekali 20 unit kamera, selain itu juga mendapat bantuan dari yayasan "The Tiger Foundation" berupa 15 unit kamera inframerah dalam rangka memfasilitasi upaya sensus. Hasil sensus mengatakan bahwa tiidak ada harimau jawa, hanya sedikit mangsa, banyak pemburu liar.


Dugaan penampakan
Sesekali, laporan tidak resmi dari harimau jawa masih muncul dari penggemar yang percaya harimau masih ada di Jawa.

Pada November 2008, sebuah jasad wanita tak dikenal dari pendaki gunung ditemukan di Taman Nasional Gunung Merbabu, Jawa Tengah, yang diduga meninggal karena serangan harimau. Penduduk desa yang menemukan tubuhnya juga mengklaim beberapa penampakan harimau di sekitarnya.


Dugaan penampakan lain terjadi di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, pada bulan Januari 2009. Beberapa warga mengaku telah melihat harimau betina dengan dua anaknya berkeliaran di dekat sebuah desa yang berdekatan dengan Gunung Lawu. Berita ini memicu kepanikan massal. Pemerintah setempat menemukan beberapa jejak segar di lokasi. Namun, pada saat itu, hewan-hewan yang dimaksud sudah lenyap.


Setelah letusan Gunung Merapi pada Oktober 2010, dua warga Indonesia telah mengklaim penampakan dari bekas cakar kucing besar di abu sisa, yang memicu rumor bahwa harimau atau macan tutul berkeliaran di peternakan yang ditinggalkan untuk mencari makanan. Personil dari taman nasional di dekatnya tidak berpikir bahwa itu bekas cetakan kaki dari harimau.



foto / gambar : dari berbagai sumber
coloring picture online : click here

Tuesday, 13 October 2020

Saturday, 10 October 2020

La Nina dan El Nino

Sebagian besar dari kita pasti sudah pernah mendengar istilah El Nino dan La Nina. Ya, istilah ini sangat familiar dan berkaitan dengan lautan atau samudera. El Nino dan La Nina ini merupakan peristiwa alam yang seringkali terjadi. El Nino ini terjadi pada saat- saat tertentu yang dapat disebabkan oleh ghal- hal tertentu. Pada kesempatan kali ini kita akan membahas lebih lanjut dan mendalam mengenai proses terjadinya El Nino dan La Nina serta hal- hal yang berkaitan dengan kedua hal tersebut.
gambar satelit menandakan suhu puncak 


Seperti yang kita ketahui, kondisi cuaca di atmosfer tidaklah menentu. Kondisi cuaca tersebut terkadang jauh berbeda dari biasanya. Perbedaan tersebut dinamakan anomali cuaca. Mendengar kata El Nino dan La Nina tentunya bukan hal asing di dalam ilmu meteorologi. Yap, kedua istilah tersebut menjadi salah satu fenomena dari anomali cuaca. Kondisi anomali ini berbeda dengan fase meteorologi bernama ENSO.

ENSO (El Nino Southern Oscillation) didefinisikan sebagai fenomena pola iklim yang melibatkan perubahan suhu perairan dan atmosfer di bagian timur hingga tengah ekuator Pasifik. Perubahan suhu ini berkisar 10 hingga 30C dari keadaan normal. Selain itu, ENSO juga menyebabkan adanya pola tekanan udara pada permukaan laut di bagian selatan Samudera Pasifik antara Tahiti dan Darwin, Australia.

Metode yang digunakan untuk memantau ENSO adalah Southern Oscillation Index (SOI) yang melihat fluktuasi tekanan udara harian antara Tahiti dan Darwin. Fenomena ENSO tersebut memiliki dampak pada pola iklim di berbagai belahan dunia. El Nino dan La Nina merupakan fase ekstrim dalam siklus ENSO dimana antara dua fase tersebut terdapat fase Neutral.

La Nina dan El Nino merupakan satu gejala yang menunjukkan adanya perubahan pada iklim Bumi. El Nino adalah kejadian di mana suhu air laut yang ada di Samudra Pasifik memanas di atas rata-rata suhu normal, Sedangkan La Nina adalah peristiwa turunnya suhu air laut di Samudera Pasifik di bawah suhu rata rata sekitarnya.

Gambar Satelit Menggambarkan kelembaban atmosfer


Berdasarkan acuan sejarah, El Nino merupakan sebuah peristiwa yang terjadi dan diamati oleh penduduk dan nelayan dari Peru dan Ekuador yang bermukim di sekitar pantai Samudera Pasifik bagian timur, yang basanya terjadi pada bulan Desember. Peristiwa yang diamati oleh masyarakat tersebut adalah peristiwa meningkatnya suhu air laut. Setelah lama meneliti, para ahli ternyata juga menemukan peristiwa kebalikan dari El Nino yaitu peristiwa di mana suhu air laut menghangat , yang dinamakan La Nina. Dimana fenomena ini memiliki rentang waktu 2-7 tahun.

Terjadinya El Nino disebabkan oleh meningkatnya suhu perairan di Pasifik timur dan tengah yang mengakibatkan meningkatnya suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada diatasnya. Dimana peristiwa ini menyebabkan pembentukan awan yang juga meningkatkan curah  hujan pada kawasan tersebut. Dan juga mengakibatkan tekanan udara pada barat SamuderaPasifik yang menghambat pertumbuhan awan di laut Indonesia bagian timur yang membuat curah hujan menurun secara tidak normal di beberapa wilayah di Indonesia.

Sedangkan La Nina, disebabkan oleh suhu permukaan laut pada bagian barat dan timur Pasifik yang menjadi lebih tinggi daripada biasanya. Kejadian tersebut menyebabkan tekanan udara pada ekuatorPasifik barat menurun yang mendorong pembentukkan awan berlebihan dan menyebabkan curah hujan tinggi pada daerah yang terdampak.

Gambar Satelit Perkiraan Turun Hujan


Kejadian El-Nino tidak terjadi secara tunggal tetapi secara berurutan setelah atau sebelum La-Nina. Hasil kajian dari tahun 1900 sampai tahun 1998 mengungkapkan bahwa El-Nino telah terjadi sebanyak 23 kali (rata-rata 4 tahun sekali). La-Nina hanya 15 kali (rata-rata 6 tahun sekali). Dari 15 kali kejadian La-Nina, sekitar 12 kali (80%) terjadi berurutan dengan tahun El-Nino. La-Nina mengikuti El-Nino hanya terjadi 4 kali dari 15 kali kejadian sedangkan yang mendahului El-Nino 8 kali dari 15 kali kejadian. Hal ini menunjukkan bahwa peluang terjadinya La-Nina setelah El-Nino tidak begitu besar. Kejadian El-Nino 1982/83 yang dikategorikan sebagai tahun kejadian El-Nino yang kuat tidak diikuti oleh La-Nina.

Pengaruh El Nino terhadap Indonesia pada umumnya adalah membuat suhu permukaan air laut di sekitar Indonesia menurun yang berakibat pada berkurangnya pembentukan awan yang membuat curah hujan menurun, namun kandungan klorofil-a pada lautan Indonesia meningkat. Kandungan kloorofil-a yang meningkat berarti meningkatnya pasokan makanan di lautan Indonesia yang tentunya meningkatkan jumlah ikan yang ada di sekitar perairan Indonesia.

Sementara dampak La Nina adalah meningkatnya curah hujan di wilayah Pasifik Ekuatorial Barat, yang di mana Indonesia termasuk di dalamnya. La Nina membuat cuaca cenderung menjadi hangat dan lebih lembab.  Fenomena La Nina yang meningkatkan curah hujan, membuat cuaca pada musim kemarau Indonesia, menjadi lebih basah.

La Nina akan sangat terasa dampaknya bagi kota dan daerah yang tidak mempunyai resapan air yang bagus, contohnya Jakarta. Di mana hujan yang terjadi selama beberapa jam sudah cukup untuk membuat Jakarta tergenang banjir.

La Nina juga terasa di beberapa kota dan daerah di Indonesia seperti Solo, Banjarnegara, Wonogiri, Cilacap, dan yang lainnya, yang akan membuat potensi banjir dan longsor di daerah tersebut meningkat.

source

Tuesday, 6 October 2020

Potensi Rawan Bencana (Kawasan Peg Hyang - G Raung - Kawah Idjen - Gn Merapi)

 Berikut ini saya akan mengulas potensi bencana untuk beberapa daerah di Indonesia, akan saya ulas dari bebrapa daerah yang memliki potensi bencana berdasarkan data data yang saya dapatkan dari beberapa literatur

Ilustrasi Daerah Rawan Bencana



Akan kita bahas satu persatu kerawanan bencana pada daerah seperti di atas

Peta Rawan Banjir, data dari Indonesia Geospatial Portal
Kabupaten Jember 



Kabupaten Bondowoso

 


Kabupaten Situbondo




Kabupaten Banyuwangi



Kabupaten Lumajang



Dari data tersebut di atas kita gunakan sebagai dasar untuk mendetailkan area kebencanaanya, pos pertolongan terdekat, dll
 
Reload data


Peringatan Dini Tsunami InaTEWS - Data Maping (bagian 3)

Peta Bahaya Tsunami dapat di download pada Link sebagai berikut

Sumatra
Processing Upload

Jawa Barat
Processing Upload

Jawa Tengah
Processing Upload

Jawa Timur
Processing Upload




Bali
Processing Upload


diharapkan dengan sudah tersedianya data data tersebut di atas, dapat memudahkan untuk melakukan penyuluhan sehingga di kemudian hari tidak menimbulkan kepanikan dan keresahan masyarakat terutama di daerah pesisir pantai selatan, selain itu bagi praktisi praktisi pemetaan serta teman teman yang sudah mahir dalam pemetaan sekiranya dapat memanfaatkan data peta tersebut yang bisa di kombinasikan dengan peta RBI.

Peringatan Dini Tsunami InaTEWS (Bagian 2)

Pedoman 3
Peran dan Tanggung Jawab Lembaga dan Masyarakat di Dalam Rantai Komunikasi Peringatan Dini Tsunami BMKG menyediakan berita gempabumi dan berita peringatan dini tsunami serta menyampaikannya kepada institusi terkait, di antaranya BNPB, pemerintah daerah dan media yang kemudian menyampaikan dan ditindaklanjuti oleh masyarakat. Pemerintah daerah diharapkan dapat membuat keputusan evakuasi jika diperlukan.


Rantai komunikasi memungkinkan penyebaran berita peringatan dini tsunami serta arahan yang tepat waktu dan efektif. Berita dan arahan tersebut dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan dikenal menggunakan saluran komunikasi yang telah disepakati, sehingga
masyarakat yang berisiko terkena ancaman tsunami dapat merespon tepat waktu untuk meninggalkan daerah berisiko dan menyelamatkan diri sebelum tsunami mencapai pantai. Rantai komunikasi ini menghubungkan Pusat Nasional Peringatan Dini Tsunami dengan 
masyarakat berisiko di sepanjang pesisir pantai Indonesia yang rawan tsunami. Pihak-pihak yang berperan dalam rantai komunikasi peringatan dini tsunami InaTEWS antara lain:
• Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika,
• Pemerintah daerah (pemda) tingkat provinsi, kabupaten dan kota,
• Stasiun televisi (TV) dan radio nasional dan daerah (pemerintah dan swasta),
• Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
• Tentara Nasional Indonesia (TNI),
• Kepolisian Republik Indonesia (POLRI),
• Masyarakat berisiko bencana,
• Penyedia layanan selular, dan
• Pengelola hotel/tempat wisata
Lembaga-lembaga yang berperan dalam mata rantai peringatan dini ini berkewajiban untuk segera memberikan konfirmasi (secara manual) bahwa mereka telah menerima berita peringatan dini yang telah dikirimkan oleh BMKG. 
 


i. BMKG
Lembaga ini menjadi penyedia berita peringatan dini tsunami di Indonesia. BMKG menyampaikan berita gempabumi, berita peringatan dini tsunami, dan saran untuk tindak lanjut di daerah yang terancam tsunami kepada pihal lain dalam rantai komunikasi peringatan dini tsunami

ii. BNPB
BNPB berkewajiban menindaklanjuti berita gempabumi dan berita peringatan dini tsunami serta saran yang disampaikan oleh BMKG. BNPB membantu menyebarluaskan peringatan dini tsunami dan saran kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Selain itu, BNPB berkewajiban untuk segera menyiapkan tanggap darurat, yaitu kegiatan search and rescue dan bantuan darurat, setelah ancaman tsunami berakhir.

iii. Pemda
Pemerintah daerah (pemda) berkewajiban untuk menindaklanjuti berita gempabumi dan berita peringatan dini tsunami serta saran yang disampaikan oleh BMKG. Pemda adalah satusatunya pihak dalam rantai komunikasi peringatan dini tsunami yang mempunyai wewenang
serta tanggung jawab memutuskan dan mengumumkan status evakuasi secara resmi berdasarkan informasi dari BMKG. Berdasarkan UU 24/2007 pasal 46 dan 47; PP 21/2008 pasal 19 dan Perka BNPB 3/2008 khususnya di dalam Bab 2 yang menyebutkan bahwa
pemda bertanggung jawab untuk segera dan secara luas mengumumkan arahan yang jelas dan instruktif untuk membantu penduduk dan pengunjung di daerah tersebut bertindak cepat dan tepat terhadap ancaman tsunami.

iv. TNI
TNI berkewajiban menindaklanjuti berita gempabumi dan berita peringatan dini tsunami serta saran yang disampaikan oleh BMKG. TNI ikut berperan dalam usaha menyebarluaskan berita gempabumi atau berita peringatan dini tsunami khususnya di tingkat daerah. Bila status evakuasi diumumkan, TNI dapat mendukung proses evakuasi masyarakat. TNI berkewajiban untuk segera menyiapkan tanggap darurat, yaitu kegiatan search and rescue dan bantuan darurat, setelah ancaman tsunami berakhir.

v. POLRI
POLRI berkewajiban menindaklanjuti berita gempabumi dan berita peringatan dini tsunami serta saran yang disampaikan oleh BMKG. POLRI ikut berperan serta dalam usaha menyebarluaskan berita gempabumi atau berita peringatan dini tsunami khususnya di tingkat daerah. Bila status evakuasi diumumkan, POLRI dapat mendukung proses evakuasi masyarakat. POLRI berkewajiban untuk segera menyiapkan tanggap darurat, yaitu kegiatan search and rescue dan bantuan darurat, setelah ancaman tsunami berakhir.

vi. Stasiun TV dan radio
Stasiun TV dan radio di tingkat nasional atau daerah (milik pemerintah dan swasta) wajib menyiarkan berita gempabumi dan berita peringatan dini tsunami serta saran yang disampaikan oleh BMKG. Hal ini berdasar pada UU 31/2009 pasal 34 dan Permenkominfo 20/2006 pasal 1 - 5. Stasiun TV dan radio merupakan pihak dalam rantai komunikasi peringatan dini tsunami yang mempunyai akses langsung dan cepat kepada publik. Stasiun TV dan radio berkewajiban untuk segera menangguhkan siaran yang sedang berlangsung dan menyiarkan peringatan dini tsunami dan saran yang diterima dari BMKG kepada pemirsa dan pendengar. 



TSUNAMI-KIT
mengembangkan Peringatan dini fan kesiapsiagaan masyarakat indonesia, menyediakan sarana pemetaan sebagai informasi peringatan dini apabila terjadi bencana tsunami, pos pertolongan (rumah sakit) 



setidaknya pada peta ini bisa untuk menjebatani dan sebagai media informasi untuk melakukan tindakan pencegahan secara dini kepada masyarakat luas terutama di area yang sudah di petakan di Indonesia dan tentunya upaya penyuluhan bagi teman teman di pemerintahan ataupun mulai dari desa ke desa serta bisa juga memperdayakan teman teman pecinta alam dan LSM.






Peringantan Dini Tsunami InaTEWS (Bagian 1)

Indonesia Rawan Terhadap Bencana Tsunami Lokal
Indonesia rawan terhadap bencana tsunami lokal karena sebagian daerah pantainya dekat dengan sumber tsunami. Bencana tsunami dapat terjadi kurang lebih 30 menit setelah gempabumi terjadi. 


 I. Kondisi tektonik di Indonesia
Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik utama dunia yang bergerak relatif saling mendesak satu dengan lainnya. Ketiga lempeng tersebut adalah Lempeng Samudera IndiaAustralia di sebelah selatan, Lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur, Lempeng Eurasia
di sebelah utara (dimana sebagian besar wilayah Indonesia berada), dan ditambah Lempeng Laut Philipina. Gambar 1 menunjukkan arah pergerakan setiap lempeng tersebut. Lempeng Samudera India-Australia bergerak ke arah utara dan bertumbukan dengan Lempeng Eurasia.
Lempeng Pasifik bergerak ke arah barat sedangkan Lempeng Eurasia relatif diam.



Pergerakan relatif keempat lempeng tektonik tersebut mengakibatkan terjadinya penumpukan tekanan mekanis di daerah-daerah pertemuannya. Saat elastisitas batuan tidak lagi mampu menahan tekanan ini, batuan akan pecah dan melenting menuju kondisi seimbang mendekati kondisi awal sebelum terkena tekanan. Pelentingan ini menimbulkan gelombang seismik yang kuat dan dirambatkan ke segala arah dalam lempeng bumi. Peristiwa ini disebut dengan gempabumi tektonik. 

Gempabumi tektonik telah terjadi jutaan kali sejak jutaan tahun yang lalu dalam skala waktu geologi. Bukti-bukti kejadian gempabumi tektonik di masa lalu terekam dalam gejala-gejala geologi di alam (paleo seismologi). Saat ini gempabumi tektonik dapat direkam menggunakan jaringan seismometer yang selanjutnya datanya dikumpulkan dan diolah untuk menentukan lokasi sumber gempabumi serta kekuatannya. 

Di wilayah Indonesia dapat dideteksi sekitar 4000 gempabumi pertahun, sedangkan gempabumi berkekuatan di atas 5,5 SR dan gempabumi yang bisa dirasakan oleh manusia, terjadi rata-rata sekitar 70–100 kali per tahun, dan gempabumi tektonik yang menimbulkan
kerusakan terjadi antara 1–2 kali per tahun. Sejak tahun 1991 sampai dengan 2011 tercatat telah terjadi 186 kali gempabumi tektonik yang merusak.

ii. Tsunami di Indonesia
Tsunami adalah gelombang air laut yang merambat ke segala arah dan terjadi karena adanya gangguan impulsif pada dasar laut. Gangguan impulsif terjadi karena perubahan bentuk struktur geologis dasar laut secara vertikal utamanya dan dalam waktu singkat. Perubahan
tersebut disebabkan oleh tiga sumber utama, yaitu gempabumi tektonik, letusan gunung api, atau longsoran yang terjadi di dasar laut. Berdasarkan ketiga sumber tersebut, penyebab utama tsunami di Indonesia adalah gempabumi tektonik.



Tidak semua gempabumi tektonik mengakibatkan tsunami, tetapi sebagian besar tsunami disebabkan oleh gempabumi. Gempabumi yang dapat memicu tsunami memiliki kriteria sebagai berikut:
• Gempabumi tektonik terjadi di bawah laut
• Kedalaman (hiposenter) gempabumi kurang dari 100 km
• Kekuatan 7 Skala Richter (SR) atau lebih
• Pergerakan lempeng tektonik terjadi secara vertikal, mengakibatkan dasar laut naik/turun, dan mengangkat/menurunkan kolom air di atasnya

Berdasarkan jarak, tsunami diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
• Tsunami jarak dekat/lokal (near field/local field tsunami)
Tsunami jarak dekat adalah tsunami yang terjadi di sekitar jarak 200 km dari episenter gempabumi. Tsunami lokal dapat disebabkan oleh gempabumi, longsor, atau letusan gunung berapi.
• Tsunami jarak jauh (far field tsunami)
Tsunami jarak jauh adalah tsunami yang terjadi di daerah pantai yang berjarak ratusan hingga ribuan kilometer dari sumber gempabumi. Awalnya merupakan tsunami jarak dekat dengan kerusakan yang luas di daerah dekat sumber gempabumi, kemudian tsunami
tersebut terus menjalar melintasi seluruh cekungan laut dengan energi yang cukup besar dan menimbulkan banyak korban serta kerusakan di pantai yang berjarak lebih dari 1000km dari sumber gempabumi (ITIC, Tsunami Glossary). 



Tabel 1 menjelaskan bahwa waktu tiba tsunami yang terjadi di Indonesia pada umumnya antara 10-60 menit. Hal ini menunjukkan bahwa tsunami-tsunami yang terjadi di Indonesia adalah tsunami lokal.


Pedoman 2
InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia dan Pemberdayaan Masyarakat

i. Tujuan sistem peringatan dini yang memberdayakan masyarakat
Pendekatan people-centred (terpusat pada pemberdayaan masyarakat) dalam peringatan dini tidak didasari pada anggapan bahwa masyarakat rentan terhadap bencana, sebaliknya pendekatan ini didasari pada kepercayaan bahwa masyarakat dapat tangguh dan mampu
melindungi diri sendiri (IFRC, 2009). Tujuan utama sistem peringatan dini yang terpusat pada masyarakat (people-centred early warning system) adalah “menguatkan kemampuan individu, masyarakat, dan organisasi yang terancam bahaya untuk bersiap siaga dan bertindak tepat waktu dan benar agar dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kerusakan dan jatuhnya korban” (UNISDR, 2006)




ii. Keterlibatan aktif masyarakat dan otoritas di daerah berisiko bencana:
 mulai dari pengkajian risiko sampai kesiapsiagaan Sistem peringatan dini akan efektif jika secara aktif melibatkan masyarakat di daerah berisiko dan otoritas yang bertanggung jawab di semua tingkat dalam mengembangkan kemampuan mereka untuk bereaksi. Risiko bencana, yang disebabkan oleh bahaya alam dan kerentanan masyarakat, perlu dianalisis, dipahami, dan dikomunikasikan secara luas kepada orang banyak. Kajian risiko secara partisipatif dan aktif serta pendidikan publik sangat diperlukan agar masyarakat semakin menyadari risiko yang sedang mereka hadapi. Kegiatan kesiapsiagaan juga diperlukan untuk memastikan masyarakat tahu tentang cara mendapatkan peringatan dini dan bereaksi secara tepat terhadap peringatan yang datang dari alam atau sumber resmi. Jika semua persyaratan tersebut terpenuhi, maka sistem peringatan dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu menyelamatkan hidup manusia dan mencegah jatuhnya korban atau kerusakan yang lebih banyak. 

iii. Syarat kelembagaan sistem peringatan dini yang efektif
Peringatan dini dan pengurangan risiko adalah tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan struktur tata kelola yang efektif dan pengaturan kelembagaan yang kuat. Kerangka perundang-undangan yang kuat, perencanaan, dan pendanaan yang memadai serta komitmen politik di semua tingkat menjadi pondasi sistem peringatan dini yang efektif.

 iv. Keterlibatan multisektor dan multidisiplin
Pertukaran informasi dan koordinasi secara vertikal dan horisontal di antara para pemangku kepentingan dalam peringatan dini InaTEWS menjadi langkah penting untuk membangun sistem peringatan yang konsisten dan berkesinambungan. Sistem peringatan dini bersifat kompleks dan memerlukan hubungan yang saling terkait antara banyak disiplin ilmu, misalnya ilmu alam dan sosial, teknik, tata kelola dan pelayanan publik, pengaturan penanggulangan bencana, media massa, dan pendampingan masyarakat. Dengan demikian, pengembangan dan pemeliharaan sistem peringatan menuntut kontribusi dan koordinasi individu dan lembaga yang luas. Tanpa
keterlibatan semua pemangku kepentingan, seperti otoritas dan lembaga pemerintah di berbagai sektor di semua tingkat, masyarakat berisiko bencana, organisasi masyarakat (ORMAS) atau lembaga-lembaga non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sektor swasta, maka sistem peringatan dini tidak akan efektif. Sampai atau tidaknya peringatan ke masyarakat di daerah berisiko bencana tergantung pada kesadaran dan kemampuan melaksanakan peran dan tanggung jawab semua pelaku dalam rantai komunikasi. Peran dan tanggung jawab pelaku utama rantai komunikasi peringatan tsunami dalam InaTEWS akan dibahas dalam 



v. Empat komponen utama sistem peringatan dini
Berdasarkan pengalaman di seluruh dunia mengenai peringatan dini, para akademisi dan praktisi internasional penanggulangan bencana, yang telah menghadiri tiga konferensi global peringatan dini (pada tahun 1998, 2003 dan 2006), menyetujui bahwa syarat sebuah sistem peringatan dini yang lengkap dan efektif serta terpusat pada masyarakat (people-centered) adalah terpenuhinya empat komponen yang terpisah namun saling terjalin, yaitu Pengetahuan Risiko, Pemantauan Bahaya dan Layanan Peringatan, Penyebaran dan Komunikasi, dan Kemampuan Respons (UNISDR, 2006). 

La Nina Sedang Berkembang di Samudra Pasifik, Waspadai Dampaknya di Indonesia





Hingga akhir September 2020, pemantauan terhadap anomali iklim global di Samudera Pasifik Ekuator menunjukkan bahwa anomali iklim La-Nina sedang berkembang. Indeks ENSO (El Nino-Southern Oscillation) menunjukkan suhu permukaan laut di wilayah Pasifik tengah dan timur dalam kondisi dingin selama enam dasarian terakhir dengan nilai anomali telah melewati angka -0.5°C, yang menjadi ambang batas kategori La Nina. Perkembangan nilai anomali suhu muka laut di wilayah tersebut masing-masing adalah -0.6°C pada bulan Agustus, dan -0.9°C pada bulan September 2020.

BMKG dan pusat layanan iklim lainnya seperti NOAA (Amerika Serikat), BoM (Australia), JMA (Jepang) memperkirakan La Nina dapat berkembang terus hingga mencapai intensitas La Nina Moderate pada akhir tahun 2020, diperkirakan akan mulai meluruh pada Januari-Februari dan berakhir di sekitar Maret-April 2021.

Catatan historis menunjukkan bahwa La Nina dapat menyebabkan terjadinya peningkatan akumulasi jumlah curah hujan bulanan di Indonesia hingga 40% di atas normalnya. Namun demikian dampak La Nina tidak seragam di seluruh Indonesia. Pada Bulan Oktober-November, peningkatan curah hujan bulanan akibat La Nina dapat terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia kecuali Sumatera. Selanjutnya pada Bulan Desember hingga Februari 2021, peningkatan curah hujan akibat La Nina dapat terjadi di Kalimantan bagian timur, Sulawesi, Maluku-Maluku Utara dan Papua.

Pada Bulan Oktober ini beberapa zona musim di wilayah Indonesia diperkirakan akan memasuki Musim Hujan, di antaranya: Pesisir timur Aceh, sebagian Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Pulau Bangka, Lampung, Banten, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa tengah, sebagian kecil Jawa Timur, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Utara, sebagian kecil Sulawesi, Maluku Utara dan sebagian kecil Nusa Tenggara Barat. Peningkatan curah hujan seiring dengan awal musim hujan disertai peningkatan akumulasi curah hujan akibat La Nina berpotensi menjadi pemicu terjadinya bencana hidro-meteorologis seperti banjir dan tanah longsor.

Para pemangku kepentingan diharapkan dapat lebih optimal melakukan pengelolaan tata air terintegrasi dari hulu hingga hilir misalnya dengan penyiapan kapasitas sungai dan kanal untuk antisipasi debit air yang berlebih.

Masyarakat diimbau agar terus memperbaharui perkembangan informasi dari BMKG dengan memanfaatkan kanal media sosial infoBMKG, atau langsung menghubungi kantor BMKG terdekat.

Jakarta, 3 Oktober 2020

Deputi Bidang Klimatologi BMKG
Herizal, M.Si.
source 
https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=la-nina-sedang-berkembang-di-samudra-pasifik-waspadai-dampaknya-di-indonesia&tag=press-release&lang=ID






Monday, 28 September 2020

Java Subduction Zone Earthquake: The Worst Is Yet to Come?

Editor's Note: Indonesia, surrounded by active subduction zones, has experienced a number of large earthquakes over the last couple of centuries, including the 2004 M9.1–9.3 Sumatra-Andaman earthquake that generated a devastating tsunami. However, the worst may be yet to come, particularly for the densely populated and relatively prosperous island of Java, where the risk of high losses from earthquakes and tsunamis is steadily growing.

The thousands of islands that make up the Republic of Indonesia are surrounded by several tectonic plates, including the Indo-Australia plate, the Pacific plate, the Philippine Sea plate, and the Sunda plate (Figure 1). Their rapid convergence toward the Sunda plate has created volcanically and seismically active subduction zone faults—more than 9,000 km (6,600 miles) in total—along the island arcs, from western Indonesia eastward to the Philippines. The Southeast Asia region also hosts some of the largest active crustal faults in the world, such as the Sumatra and Sula-Sorong faults.


The Southeast Asia region has produced an estimated 18 earthquakes larger than M8.0 in the last 200 years, two thirds of which have occurred since 1900 and four since the year 2000. On average, an earthquake larger than M7.5 occurred every two to three years in the last 100 to 200 years. The high seismicity rate throughout Southeast Asia has, of course, led to frequent losses from earthquakes in Indonesia. Since 1970 (when earthquake reporting in the region began to improve), more than 25 earthquakes have caused significant deaths and/or losses. On average, Indonesia has been hit by loss-causing earthquakes every one to two years since 1992, when the M7.8 Nusa Tenggara Timur earthquake off the north coast of Flores Island killed more than 2,500 people and caused significant property damage on Flores and Babi islands from both shaking and tsunami.
Figure 1. Active faults and historical seismicity in the Southeast Asia region. Large dots indicate events larger than M7.0 since 1800; events larger than M8.0 since 1900 are labeled. (Source: AIR)


Indonesia's most catastrophic earthquake—the 2004 M9.1-9.3 Andaman–Sumatra (or Boxing Day) megathrust earthquake and tsunami in northern Sumatra and the Andaman Sea/Nicobar Island area, which killed hundreds of thousands1—resulted in a direct economic loss to Indonesia of about USD 4 billion,2 with much of the damage and loss caused by the tsunami. Although the direct economic cost was relatively modest compared to large earthquakes that have impacted more developed countries, such as Chile, Japan, and New Zealand, the casualty total from this event ranks among the highest of all known earthquakes in the world.

Does the earthquake loss experience in Indonesia from the last 40 years—or even last two centuries—provide a meaningful long-term view of risk, or should other factors be taken into consideration? Because of the relatively sparse earthquake history for Indonesia, the abundance of fault zones, and the high convergence rates in the region—notably in the Java Trench—it is not implausible that a higher-magnitude earthquake than previously experienced in the region could occur. Factor in Indonesia's growing population, increased building construction, and burgeoning economy—particularly on the island of Java—and the escalating potential for significant damage and high insured losses becomes evident.

The sections below provide four seismological observations that suggest the worst may be yet to come.

Historical Experience Limited to Low-Exposure Areas

Most of the recent significant earthquakes impacting Indonesia have occurred either around Sumatra Island, in the northwestern part of the country, or near islands in eastern Indonesia, both regions with a lower population density than Java and much less exposure at risk. Before the beginning of the 21st century, in fact, Java Island had not been impacted by a large, significant earthquake for more than half a century, long before that verdant, volcano-dotted island became a hub of financial activity and popular tourist destination, and its largest city and the nation's capital, Jakarta, emerged as a modern and prosperous metropolis.

Two cautionary earthquakes have impacted Java since the 2004 Sumatra-Andaman earthquake and tsunami, one crustal and the other an intermediate-depth (or in-slab) event.3 The 2006 M6.3 Yogayakarta crustal earthquake, although moderate in magnitude, left 2,500 dead and became the second-most damaging earthquake in Indonesian history because it impacted densely populated cities on Java. The 2009 in-slab M7.0 West Java earthquake killed more than 70 people and severely damaged property in western Java.

A high-magnitude earthquake in the Java Trench subduction zone, which lies just off the south coast of Java Island, could have a significantly greater economic impact than a similar event in the Sumatra subduction zone or the eastern islands because of the considerable socioeconomic differences between Java and the other locales. Well over half the national population calls Java home, and the island boasts robust infrastructure and significantly more exposure at risk than other parts of the country—including glittering office towers, luxury hotels, and high-end shopping malls. (According to AIR's industry exposure database, Java Island can claim 60% of the country's total property replacement value.) Insurance penetration is also higher on Java (Sumatra has comparatively low take-up rates), thus a catastrophic event could result in a sizable insurance loss. Even Jakarta, located on the northern side of the island, would likely be impacted by the shaking from a megathrust earthquake in the Java subduction zone.

Low Energy or a Short Earthquake Record?

The total convergence rate across the Java Trench is about 6 to 7 cm a year—higher than the convergence rates across most other major subduction zones in the region. In the last couple of centuries, however, the very active Java Trench subduction zone has exhibited quite low seismic activity.

As show in Figure 2, the Java Trench subduction zone is seismically least productive among the major subduction zones in the region, with the rate of seismicity of moderate-to-large-magnitude earthquakes lower than other subduction zones by a factor of 5 to 8.

Figure 2. Earthquake frequency since 1800 in the main subduction zones in Southeast Asia. The frequency is normalized by trench length (per 100 km) and adjusted by the convergence rate across the subduction zones. (Source: AIR)



The seismic coupling factor (or seismic factor)—the ratio of seismic energy released by an earthquake to the total energy accumulated—of the Java Trench subduction zone is less than 1%. Many scientists have postulated that much of the tectonic energy in the Java Trench may be released aseismically (i.e., by aseismic deformation, such as fault creep) because of this comparatively very low seismic coupling factor and the absence of large-magnitude earthquakes in the past 100 to 200 years.4

However, recent large earthquakes in other subduction zones, such as the 2011 M9.0 Tohoku earthquake in the Japan Trench and the 2004 M9.1–9.3 Andaman-Sumatra earthquake, have cast doubt on the notion that long-term fault behavior can be inferred by as little as one century of historical earthquake record. Before the Tohoku earthquake, for example, the average seismic coupling factor for the Japan Trench ranged from less than 10% to 25%, based on 100 to 400 years of seismic record. This might suggest that most of the tectonic energy in the Japan Trench would be released by aseismic deformation. However, the energy released by the Tohoku earthquake would require at least 250 to 300 years of energy accumulation in the entire trench; segments with the largest fault slip would require more than 500 years of energy accumulation. Therefore, the seismic coupling factor revealed by 100 to 400 years of historical record for the Japan Trench was not indicative of its long-term behavior. (See this article for more information.)

Given that the plate convergence rate in the Java Trench is higher than the convergence rate in the Sumatra trench further to the north, the amount of energy accumulated in the trench could be quite large. Aside from an M8.0–8.5 Java Trench earthquake in 1780 (the largest historical earthquake in the Java Trench), the trench has not had any earthquakes larger than M8.0 in the known history (200 to 300 years).

Intermediate-Depth Earthquakes Pose Another Threat
Intermediate-depth earthquakes—in-slab earthquakes associated with internal deformation of the subducting plate in the depth range from just below the typical subduction zone thrust earthquake to 200 km (125 miles) in depth—can pose significant risk to coastal cities on islands above a subduction zone. A 2009 M7.6 earthquake, for example, which occurred 90 km (56 miles) deep in the Sumatra Trench, caused significant damage in the city of Padang on the west coast of Sumatra due to its close proximity to the land area. 

Before 2007, in-slab earthquakes in the Java subduction zone were mostly moderate magnitudes (less than M7.0), and the majority occurred deeper than 500 km (310 miles) and north of the island. However, in August 2007, an M7.5 in-slab earthquake occurred near Jakarta at about 300 km (185 miles) deep. Because it was so deep, this event did not cause significant damage; in contrast, a 2009 M7.0 in-slab earthquake near the southern coast of western Java at a depth of 50 km (30 miles) damaged more than 60,000 houses.

With the Java Trench subducting slab located 50 to 250 km (30 to 155 miles) under Java Island, in-slab earthquakes can be expected to occur within this relatively shallow depth range, posing a real threat to Java Island.

Not to Be Ignored: Crustal Faults
Due to slow deformation on Java Island, few detailed neotectonic studies had been carried out on mapped faults before the 2006 M6.3 Yogyakarta earthquake, the first significant shallow crustal earthquake in the island's modern history. Although considered moderate, the earthquake killed about 6,000 people, destroyed more than 120,000 houses, and reportedly resulted in a direct economic loss in excess of USD 3.1 billion (close to the direct economic loss to the country caused by the 2004 M9.1–9.3 Andaman-Sumatra earthquake).5 In terms of loss directly caused by ground shaking, the Yogyakarta earthquake was the most damaging earthquake in Indonesia in the past century.

The severity of the Yogyakarta earthquake underscores the importance of understanding the effect of different types of earthquakes on Java's and the country's overall seismic risk. This event has triggered many new geological, geophysical, and geodetic studies.6, 7 Several faults have been determined to be active and potential sources for significant earthquakes, including the Cimandiri, Lembang, Lasem-Pati, and Opak River faults, all located close to major cities on the island, such as Bandung, Semarang, and Yogyakarta (Figure 3). Large earthquakes on any of these faults could have an unprecedented impact on Indonesia, as the affected population would be much larger than those affected by previous large earthquakes. The risks posed by these faults have been included in the latest national seismic hazard analysis,8 which has significantly elevated the seismic hazard in several large cities.

Figure 3. Recent earthquakes and active faults on Java Island. (Source: AIR9)

Summary
The densely populated and prosperous Indonesian island of Java has escaped the impact of major earthquakes in recent decades. However, because of the long length of the Java Trench and the high rate of plate convergence, and because many centuries have passed since a megathrust earthquake released accumulated energy here, many scientists contend that the potential exists for an extremely intense event in which shaking, liquefaction, and tsunami would affect not only Java Island but also coastal cities on the Indian Ocean, including in Australia. Intermediate-depth and crustal earthquakes, too, could produce large losses if they were to impact densely populated locales.

To enhance understanding of the earthquake risk for Indonesia and the Southeast Asia region, AIR has developed a comprehensive update to the AIR Earthquake Model for Southeast Asia, covering Hong Kong, Indonesia, Macau, the Philippines, Singapore, Taiwan, and Vietnam. In addition to reflecting the latest views of seismic hazard and building vulnerability—encompassing highly detailed industry exposure databases, incorporating policy conditions, and explicitly capturing liquefaction risk—the upcoming model also features a fully probabilistic tsunami model for Indonesia, the Philippines, and Taiwan.

source : https://www.air-worldwide.com/Publications/AIR-Currents/2016/Java-Subduction-Zone-Earthquake--The-Worst-Is-Yet-to-Come-/