Indonesia Rawan Terhadap Bencana Tsunami Lokal
Indonesia rawan terhadap bencana tsunami lokal karena sebagian daerah pantainya dekat dengan sumber tsunami. Bencana tsunami dapat terjadi kurang lebih 30 menit setelah gempabumi terjadi.
I. Kondisi tektonik di Indonesia
Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik utama dunia yang bergerak relatif saling mendesak satu dengan lainnya. Ketiga lempeng tersebut adalah Lempeng Samudera IndiaAustralia di sebelah selatan, Lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur, Lempeng Eurasia
di sebelah utara (dimana sebagian besar wilayah Indonesia berada), dan ditambah Lempeng Laut Philipina. Gambar 1 menunjukkan arah pergerakan setiap lempeng tersebut. Lempeng Samudera India-Australia bergerak ke arah utara dan bertumbukan dengan Lempeng Eurasia.
Lempeng Pasifik bergerak ke arah barat sedangkan Lempeng Eurasia relatif diam.
Pergerakan relatif keempat lempeng tektonik tersebut mengakibatkan terjadinya penumpukan tekanan mekanis di daerah-daerah pertemuannya. Saat elastisitas batuan tidak lagi mampu menahan tekanan ini, batuan akan pecah dan melenting menuju kondisi seimbang mendekati kondisi awal sebelum terkena tekanan. Pelentingan ini menimbulkan gelombang seismik yang kuat dan dirambatkan ke segala arah dalam lempeng bumi. Peristiwa ini disebut dengan gempabumi tektonik.
Gempabumi tektonik telah terjadi jutaan kali sejak jutaan tahun yang lalu dalam skala waktu geologi. Bukti-bukti kejadian gempabumi tektonik di masa lalu terekam dalam gejala-gejala geologi di alam (paleo seismologi). Saat ini gempabumi tektonik dapat direkam menggunakan jaringan seismometer yang selanjutnya datanya dikumpulkan dan diolah untuk menentukan lokasi sumber gempabumi serta kekuatannya.
Di wilayah Indonesia dapat dideteksi sekitar 4000 gempabumi pertahun, sedangkan gempabumi berkekuatan di atas 5,5 SR dan gempabumi yang bisa dirasakan oleh manusia, terjadi rata-rata sekitar 70–100 kali per tahun, dan gempabumi tektonik yang menimbulkan
kerusakan terjadi antara 1–2 kali per tahun. Sejak tahun 1991 sampai dengan 2011 tercatat telah terjadi 186 kali gempabumi tektonik yang merusak.
ii. Tsunami di Indonesia
Tsunami adalah gelombang air laut yang merambat ke segala arah dan terjadi karena adanya gangguan impulsif pada dasar laut. Gangguan impulsif terjadi karena perubahan bentuk struktur geologis dasar laut secara vertikal utamanya dan dalam waktu singkat. Perubahan
tersebut disebabkan oleh tiga sumber utama, yaitu gempabumi tektonik, letusan gunung api, atau longsoran yang terjadi di dasar laut. Berdasarkan ketiga sumber tersebut, penyebab utama tsunami di Indonesia adalah gempabumi tektonik.
Tidak semua gempabumi tektonik mengakibatkan tsunami, tetapi sebagian besar tsunami disebabkan oleh gempabumi. Gempabumi yang dapat memicu tsunami memiliki kriteria sebagai berikut:
• Gempabumi tektonik terjadi di bawah laut
• Kedalaman (hiposenter) gempabumi kurang dari 100 km
• Kekuatan 7 Skala Richter (SR) atau lebih
• Pergerakan lempeng tektonik terjadi secara vertikal, mengakibatkan dasar laut naik/turun, dan mengangkat/menurunkan kolom air di atasnya
Berdasarkan jarak, tsunami diklasifikasikan menjadi 2, yaitu:
• Tsunami jarak dekat/lokal (near field/local field tsunami)
Tsunami jarak dekat adalah tsunami yang terjadi di sekitar jarak 200 km dari episenter gempabumi. Tsunami lokal dapat disebabkan oleh gempabumi, longsor, atau letusan gunung berapi.
• Tsunami jarak jauh (far field tsunami)
Tsunami jarak jauh adalah tsunami yang terjadi di daerah pantai yang berjarak ratusan hingga ribuan kilometer dari sumber gempabumi. Awalnya merupakan tsunami jarak dekat dengan kerusakan yang luas di daerah dekat sumber gempabumi, kemudian tsunami
tersebut terus menjalar melintasi seluruh cekungan laut dengan energi yang cukup besar dan menimbulkan banyak korban serta kerusakan di pantai yang berjarak lebih dari 1000km dari sumber gempabumi (ITIC, Tsunami Glossary).
Tabel 1 menjelaskan bahwa waktu tiba tsunami yang terjadi di Indonesia pada umumnya antara 10-60 menit. Hal ini menunjukkan bahwa tsunami-tsunami yang terjadi di Indonesia adalah tsunami lokal.
Pedoman 2
InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia dan Pemberdayaan Masyarakat
i. Tujuan sistem peringatan dini yang memberdayakan masyarakat
Pendekatan people-centred (terpusat pada pemberdayaan masyarakat) dalam peringatan dini tidak didasari pada anggapan bahwa masyarakat rentan terhadap bencana, sebaliknya pendekatan ini didasari pada kepercayaan bahwa masyarakat dapat tangguh dan mampu
melindungi diri sendiri (IFRC, 2009). Tujuan utama sistem peringatan dini yang terpusat pada masyarakat (people-centred early warning system) adalah “menguatkan kemampuan individu, masyarakat, dan organisasi yang terancam bahaya untuk bersiap siaga dan bertindak tepat waktu dan benar agar dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kerusakan dan jatuhnya korban” (UNISDR, 2006)
ii. Keterlibatan aktif masyarakat dan otoritas di daerah berisiko bencana:
mulai dari pengkajian risiko sampai kesiapsiagaan Sistem peringatan dini akan efektif jika secara aktif melibatkan masyarakat di daerah berisiko dan otoritas yang bertanggung jawab di semua tingkat dalam mengembangkan kemampuan mereka untuk bereaksi. Risiko bencana, yang disebabkan oleh bahaya alam dan kerentanan masyarakat, perlu dianalisis, dipahami, dan dikomunikasikan secara luas kepada orang banyak. Kajian risiko secara partisipatif dan aktif serta pendidikan publik sangat diperlukan agar masyarakat semakin menyadari risiko yang sedang mereka hadapi. Kegiatan kesiapsiagaan juga diperlukan untuk memastikan masyarakat tahu tentang cara mendapatkan peringatan dini dan bereaksi secara tepat terhadap peringatan yang datang dari alam atau sumber resmi. Jika semua persyaratan tersebut terpenuhi, maka sistem peringatan dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu menyelamatkan hidup manusia dan mencegah jatuhnya korban atau kerusakan yang lebih banyak.
iii. Syarat kelembagaan sistem peringatan dini yang efektif
Peringatan dini dan pengurangan risiko adalah tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan struktur tata kelola yang efektif dan pengaturan kelembagaan yang kuat. Kerangka perundang-undangan yang kuat, perencanaan, dan pendanaan yang memadai serta komitmen politik di semua tingkat menjadi pondasi sistem peringatan dini yang efektif.
iv. Keterlibatan multisektor dan multidisiplin
Pertukaran informasi dan koordinasi secara vertikal dan horisontal di antara para pemangku kepentingan dalam peringatan dini InaTEWS menjadi langkah penting untuk membangun sistem peringatan yang konsisten dan berkesinambungan. Sistem peringatan dini bersifat kompleks dan memerlukan hubungan yang saling terkait antara banyak disiplin ilmu, misalnya ilmu alam dan sosial, teknik, tata kelola dan pelayanan publik, pengaturan penanggulangan bencana, media massa, dan pendampingan masyarakat. Dengan demikian, pengembangan dan pemeliharaan sistem peringatan menuntut kontribusi dan koordinasi individu dan lembaga yang luas. Tanpa
keterlibatan semua pemangku kepentingan, seperti otoritas dan lembaga pemerintah di berbagai sektor di semua tingkat, masyarakat berisiko bencana, organisasi masyarakat (ORMAS) atau lembaga-lembaga non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sektor swasta, maka sistem peringatan dini tidak akan efektif. Sampai atau tidaknya peringatan ke masyarakat di daerah berisiko bencana tergantung pada kesadaran dan kemampuan melaksanakan peran dan tanggung jawab semua pelaku dalam rantai komunikasi. Peran dan tanggung jawab pelaku utama rantai komunikasi peringatan tsunami dalam InaTEWS akan dibahas dalam
v. Empat komponen utama sistem peringatan dini
Berdasarkan pengalaman di seluruh dunia mengenai peringatan dini, para akademisi dan praktisi internasional penanggulangan bencana, yang telah menghadiri tiga konferensi global peringatan dini (pada tahun 1998, 2003 dan 2006), menyetujui bahwa syarat sebuah sistem peringatan dini yang lengkap dan efektif serta terpusat pada masyarakat (people-centered) adalah terpenuhinya empat komponen yang terpisah namun saling terjalin, yaitu Pengetahuan Risiko, Pemantauan Bahaya dan Layanan Peringatan, Penyebaran dan Komunikasi, dan Kemampuan Respons (UNISDR, 2006).